Selamat datang di BLOG PRIBADI MARZUKI. Blog ini adalah catatan Marzuki Bersemangat disela-sela aktivitas. TEMAN-TEMAN BLOGER NGAWI MARI KITA TUKAR IDE MEMAJUKAN KOTA NGAWI. Dulur-dulur semua, bagi yang ingin mengirimkan tulisan bisa dikirimkan ke komen. atau via email marzuqqi@yahoo.co.id

Sabtu, 05 Desember 2009

WEDDING APA WEDANG???


Awal Desember ini hujan mulai mengguyur Jombang beriman. Petang ba’da Isya’ ada undangan yang harus aku penuhi, Walimah. Aku meluncur. Jarak 400 M dari lokasi pernikahan itu berjajar rapi mobil-mobil berkelas.

“pruit…. Pruiiit…..”

Terdengar jelas suara JUKIR sedang mengatur kendaraan tamu yang semakin padat. Polisi lalu lalang menertibkan pengguna jalan. Acara resepsi pernikahan meriah itu memang berada digedung pinggir jalan yang menikung. Ditikungan itu terdapat lampu merah. Lokasi parkir yang tidak tersedia, sehingga parkir ditempatkan di pinggiran jalan. Akibatnya, jalan mengalami kemacetan 500 m dari tikungan itu.

Aku sempat ngobrol dengan para tamu yang belum masuk ke acara resepsi. Mereka terlihat manusia-manusia provider. Aku minder. Aku harus tenang. Kami berkumpul di tempat parkir pinggiran jalan salah satu dari mereka terlihat serius membicarakan suatu tema. Aku pura-pura memainkan HP mendekati orang itu. Kini aku jelas mendengarkan pembicaraan itu.

“Kasihan mereka dipermainkan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab”

Aku berlalu dari mereka. Aku masuk ruangan resepsi pernikahan. Beberapa penerima tamu menyalami sembari memberikan kotak. Kupilih tempat duduk tengah karena indah. Tengah itu identik dengan netral. Apalagi drumernya netral oke full

Aku diam mataku melihat kemana-mana, dan otak selalu memberikan komentar. Saat kulihat kwade yang mewah otakku berfikir “uang kok dihambur-hamburkan. Apa ini yang dinamakan sakral? Bukankah sakralnya sebuah pernikahan itu terletak pada rentannya perceraian? Bagaimana kalau resepsi pernikahannya mewah tapi keluarganya tidak bisa menciptakan kerukunan. Ah….

Lamunanku buyar saat tuan rumah menyapaku

“Mas, dari mana?”

“Jogja”

“Lho……..jauh ya?”

“Jogja, Jombang Saja”

“ha……..ha…….bisa saja.”

“Tadi pagi acaranya apa, Pak?”

“Ooooo….. Akad nikah, adat Mas sebenarnya akad sudah dilaksanakan seminggu yang lalu”

Sesaat kemudia ia pergi. Aku merenung lagi. Merenung bagiku adalah seperti membuka internet yang penuh dengan ilmu.

Kehidupan orang jawa yang selalu mengadakan tajdidun nikah (memperbaharui nikah) pada acara walimah bagiku tak ubahnya menyulut rokok yang sudah berasap. Masalahnya, jarak antara akad dan walimah itu dekat, Cuma beberapa hari. Pertama, kesunahan tajdidun nikah adalah untuk mengantisipasi batalnnya nikah. Disengaja ataupun tidak sighot talak (cerai) itu sah. Kedua, adanya fasad (kerusakan) dalam akad maka wajib tajdidun nikah. Bila dua point itu tidak ada salah satunya lebih baik tidak perlu terjadi kembali tajdidun nikah.

6 desember 2009
Bumi kedamaian

NOSTALGIA/NOSTALGILA


"Homo Homini Lupus. Manusia tidak terkecuali santri, berubah menjadi serigala dalam belantara modernisasi. Silahkan berjuang mati-matian dengan mengatakan bahwa cirri khas kebudayaan Indonesia adalah gotong-royong.”

Aku masih ingat sekali statement itu ia tulis dipamphletnya. Kusimpan pamphlet itu sebagai kenangan darimu. Pamphlet itulah ku bisa mengakses perkembangan pemikiranmu. Hanya edisi itu yang tersimpan dan itu inspiarasi terindah bagiku.


Kawan, ku kenalkan sahabat lamaku namanya Mbah Men, lengkapnya Lukman Hakim. Perawakannya tinggi, rambutnya sigar tengah (edisi tahun 2008 kebawah sekarang entah). Panggilan Mbah bukan berarti tua, ia stil young he was born at 1986 same with me. Nama Mbah di Pesantren lebih identik pada penghormatan bukan pada umur.

Kutulis tentang Mbah Men karena ia adalah sahabat yang paling cerdas yang pernah ku kenal. Manusia cerdas sebayanya. Manusia yang dikagumi teman-temanya karena kecerdasan dan karakter yang meneladankan seorang pemimpin.

Dalam salah satu artikelnya beliau pernah menulis bahwa tidak seorang pun berhak menyandang predikat santri. Apalagi memonopoli maknanya dengan mengklaim bahwa “kamilah sebenar-benarnya santri. Kamilah yang pantas mewakili seluruh definisi atas nama santri”. Menurut beliau santri dulu dan sekarang sama. Tyada yang lebih unggul, Setiap era , zaman mempunyai karakteristik tersendri.

Beliau juga mempertanyakan “siapa yang pertama kali menggulirkan kesimpulan, santri sekarang tidak lebih baik daripada santri dulu?” dan “Benarkah telah terjadi kemunduran dalam berbagai aspek ditubuh generasi kita ini?”


Pertanyaan diatas membuat jantungku berdebar-debar. Aku sebagai santri harus mawas diri tentang statusku, “Terlalu muluk untuk aku disebut santri?”


Sebagai santri Mbah Men dan kita tentunya, perlu menyadari bahwa santri sekarang telah kehilangan ciri khas yang telah dianggap determinan (abadi) dan memang harus selalu ada. Ciri atau karakter yang telah hilang itu adalah persaudaraan dan semangat kekeluargaan.

Beliau beropini bahwa kita sedang dalam masa transisi dari tradisionalitas menuju modernitas. Masalahnya, manusia tidak bisa benar-benar berada ditengah atau netral. Sedikit atau banyak ia pasti memihak antara tradisionalitas atu modernitas. Manusia mempunyai sifat kecenderungan, saat itulah ia ikut ke medan laga turut bertarung mempertahankan keyakinannya.

Rayuan modernitas telah berhasil mengendalikan selera kita pada umumnya, terlebih santri. Santri lebih mementingkan belajar LKS daripada kitab pesantren. Ngaji wethon tidak lebih penting dari main game.

Pondasi pokok yang membentuk modernitas adalah proyek rasionalisasi yang kemudian berkembang menjadi mitos – untuk tidak menyebutnya mantra- dari modernitas menjadi ruhnya dan yang di pertuankan. Pada gilirannya, rasionalitas menciptakan pemilah-milahan dalam segenap cabang kehidupan. Wal hasil, komunalisme yang biasa terwujud dalam trend gotong-royong dan semangat persaudaraan sekarang dicabik-cabik oleh trend baru; egosime (cermin dari keangkuhan modernitas). Padahal yang petama tadi adalah ciri utama masyarakat santri.

Kembali pada statement diatas, "Homo Homini Lupus. Manusia tidak terkecuali santri, berubah menjadi serigala dalam belantara modernisasi. Silahkan berjuang mati-matian dengan mengatakan bahwa cirri khas kebudayaan Indonesia adalah gotong-royong.” Toh, itu sama saja halnya dengan menghembuskan lelucon yang tak lucu. Isapan jempol belaka. Harga mati yang harus dipilih hari ini adalah modernisasi dan segala konsekwensinya.


Bumi Kedamaian
5 desember 2009

Jumat, 16 Oktober 2009

Aku Vs Guruku, Pak Huda


By: Marzuki Bersemangat
Di Jombang, setiap hari aku diracuni ilmu meski aku tak ubahnya pelayan Indomaret yang tertuntut ramah pada setiap konsumen. MAWH Tambakberas ini menawarkan padaku sebuah petualangan intelektualitas dengan kemungkinan-kemungkinan yang amat luas. Aku mengagumi guru-guru yang belum kutemui sebelumnya. Aku menemukan guru yang memberikan kesempatan besar bagi murid untuk berkreativitas. Bagiku itu sebuah batu granit yang mencerahkan walaupun aku hanya batu nisan yang diam diantara rumput ilalang yang bergoyang.
Siang itu Rabu 7 Oktober 2009 kepalaku seperti batu karang yang dihantam ombak. Argumentasi yang emosional dilontarkan guru yang bagiku ia adalah senior intepretor. Dengan santainya ia menyampaikan di depan kelas:
“Negara Indonesia miskin dikarenakan sistemnya yang bobrok”.
Aku diam. Kugerakkan otakku sedikit untuk memahami opini Sang Guru. Otakku yang tidak cerdas ini terasa cenut-cenut bila diajak berfikir berat. Namun aku harus memaksa dan otak memang harus dipaksa.
Aku sangat gandrung dengan ide-ide Pak Huda. Berulang kali kuamati setiap beliau mengajar. Melihat kumisnya saja aku bergetar-getar. Gaya bicaranya yang lantang nan merdu dalam mengajar jantung ini hampir copot. Syamsul Huda nama lengkap beliau, nama yang mengandung karakter keras dan itu termanifestasikan dalam opini-opini beliau.
“Yang tidak setuju dengan pendapatku acungkan tangan”
kata Pak Huda dengan mengacung tangan pada para siswa yang menahan kantuk.
Hening,gemetar, dan mencekam, itulah suasana kelas. Di MA-WH Tambakberas ini siswa memang dituntut aktif. Siswa bukanlah gelas yang bisa terus diisi. Guru bukanlah Tuhan yang mendikte sekehendaknya. Guru bagaikan penjual yang menawarkan berbagai menu dan siswa sebagai pembeli dituntut memilih dan memilah sesuai kadar kapasitas.
Sejak kecil darahku mengalir sebagai manusia yang tidak mudah untuk bisa menerima. Begitu pula saat Pak Huda memberikan kesempatan untuk berpendapat, tanganku tanpa terasa sudah mengacung secara reflek.
“kemiskinan di Indonesia disebabkan oleh pendidikannya bukan politik ataupun sistem”
“Lalu, mengapa banyak pelaku pendidikan yang hidup diawah garis kemiskinan” Sahut Pak Huda.
Aku seperti kena skak dalam permainan catur. Aku hanya bisa mereply ulang pendapatku dan memahami kembali. Aku membentuk diskusi kecil dalam otakku. Tubuhku seakan membelah menjadi dua: aku sebagai perwakilan dari egosentris dan Marzuki duta dari otak yang berisi bermacam data atas pertimbangan hati kecil. Maka peserta doiskusi kecil itu aku dan Marzuki.
“Hai Marzuki, kenapa banyak pelaku pendidikan yang hidup miskin.”
“Ooo..... itu karena pendidikan di Indonesia bobrok. Masak kamu lupa, Gus Dur pernah bilang bahwa pendidikan di Indonesia itu bobrok.”
“Oooo....gitu ya..”
“Bobrok. Bobrok!!! korupsi terjadi dalam semua lini. Polisipun yang katanya ngayomi masyarakat. Mencekal pelaku korupsi. Justru itu yang tidak terkuak kerusakan di kepolisian terang Marzuki.”
“Emang Polisi juga korupsi?”
Tanyaku sambil mengernyitkan dahi. Kupandangi wajah Marzuki yang sok begawan. Ia duduk di kursi goyang sesekali menghisap rokok kreteknya.
“Kemarin dua hari setelah hari raya, aku silaturrohim dirumah salah satu Dosen UNMER Madiun. Ia banyak bercerita kebejatan di kepolisian. Bahwa setiap hari polisi lalu lintas membeli kartu tilang pada atasannya dan otomatis harus mencari pengendara sebanyak-banyaknya.”
“Kalau begitu polisi bukan niat ngayomi”
“Bisnis”
Diskusi kecil itu tiba-tiba buyar. Pak Huda memandang aku degan tajam. Pandangan yang sinis dan pandangan sayang. Perlahan tapi pasti aku bermetamorfosis menjadi penganut pendapat Guru itu. Aku mulai memahami yang entah benat ataupun salah. System Indonesia yang bobrok menjadikan negara Indonesia miskin. Dr. Antonio dalam salah satu seminar pernah mengatakan bahwa untuk menjadikan negara Indonesia ini baik hanya cukup 3 menit, Yakni para isteri cukup bilang pada suaminya: “Sayang, jangan bawa uang haram kerumah ini.”
Http://www.wacanamarzuki.blogspot.com
E-mail: marzuqqi@yahoo.co.id

Selasa, 29 September 2009

Pesona


By : Marzuki Bersemangat
Serempak sekali 22 Agustus 2009 umat Islam melaksanakan ibadah puasa. Makan sahur hari itu bagiku terasa hambar, ma’lum tidak terbiasa makan menjelang terbitnya fajar. Ba,da ashar ku meluncur menuju Jombang tercinta. Aktivitasku menonton selama 16 hari di Jombang: sekolah-diskusi-bowsing.

Senin 7 September aku dan temanku, Mahmud meluncur kerumahnya, Desa Tempuran Kecamatan Tanjung Kabupaten Lamongan. Desa yang bagiku unik. Kami harus memasuki jalan selebar 2 M sepanjang 3 Km. Sekarang akses desa itu halus. “Baru mei kemarin jalan ini dicor “ kata salah satu pemuda di desa itu yang kutanya, kapan jalan ini direnovasi. Aku dulu pernah masuk desa ini namun jalan masih berupa sirtu (pasir dan batu). Bahkan karena tidak enaknya lewat jalan ini dulu aku bernyanyi setelah sampai dirumah temanku”Perjalanan ini sungguh sangat menyedihkan”.

Tanah diwilayah Kecamatan ini berstatus tanah gerak. Jalanan akses Desa Tempuran dulunya diaspal namun sering terjadi keretakan yang berakibat tanah keluar dan menutup aspal. Cor yang sekarang pun (September 2009) mulai tampak retak. Nanti bila keretakan banyak terjadi akan ditambal dengan aspal. Cor jalan ini bertebalan kurang lebih 30 cm. Jalan ini juga menghubungkan Pasar Sukorame. Sebelum sampai Desa Tempuran jalan ini sepi bila malam hari karena termasuk wilayah persawahan dan hutan. Menakutkan, dimana-mana pohon dan tidak ada lampu.

Kamipun seperti computer yang baru di Instal. Fikiran kami cerah 2 hari didesa tempuran. Setelah selama 16 hari di Jombang, aku seperti burung kutilang yang dikurung tuannya. Tunduk patuh. Aku ingin menyelami labirin liku-liku yang ujungnya tak dapat disangka. Aku mendamba kehidupan dengan kemungkinan-kemungkinan yang bereaksi satu sama lain seperti benturan molekul uranium.(Andrea Hirata).

Selasa ba’da ashar aku dan mahmud minta izin pulang. Kami menuju Desa Kandangan Kecamatan Sambeng Lamongan. Bermacam rute sudah kami kantongi namun kami tetap kebingungan sesampai di kecamatan Sambeng. Kami tidak tahu secara pasti untuk akses desa kandangan. Rute kami ingat di otak: “Masuk jalan bercor selebar 2 m.”. Setelah melalui berbagai proses akhirnya kami menemukan jalan itu. Jalan bercor sepanjang 1 km. kendaraan kami melaju dengan cepat dan hati-hati. Ternyata cor itu hanya kurang lebih 1 km. setelah itu jalan berupa batu terjal yang kami khawatir kendaraan kami bocor. Kekhawatiran kami karena tidak ada tambal ban. Kami berada di tengah hutan. Pohon, pohon dan pohon sekali. Perlahan namun pasti. Kami mengejar waktu. Sebentar lagi berbuka puasa. Perjalanan 2 km sampai di Desa Cane. Kami bertemu teman safari Ramadhan yang berada Kantor secretariat kami langsung menuju post 2 Desa Kandangan. Rute kami sekarang jelas sesudah teman-teman memberi gambar peta untuk tujuan kami. Jarak post 1 dengan tujuan kami kurang lebih 3,5 km. namun bagi kami serasa 10 km. jalan itu parah rusaknya. Kalau siang panas. Dari Cane ke Kandangan kanan kiri jalan berupa sawah.
Jam 17.33 suara bedug terngiang. Kami berbuka di Madrasah Ibtida’iyah depan Masjid Kandangan selepas Masjid kami menemui teman, Ubaid. Sebenarnya Aku dan Mahmud hanya ingin bermain. Namun, Ubaid mengharap kami gabung dengan mereka untuk ikut safari Ramadhan (mirip sama dengan KKN atau Bhakti Sosial).

Hatiku hancur waktu rapat malam itu 8 September ba’da tarawih di rumah Pak Lurah saat kulihat wajah mirip Taicha Naomi. Kami saling memperkenalkan diri didepan para tokoh desa kandangan. Kutahu namanya, Zakiyah. Perempuan yang meremukkan hatiku saat pandangan pertama. Wajahnya membuka file lamaku, Diana yang entah kemana. Rapat selesai dengan macam-macam program yang berkaiatan dengan orangtua, anak-anak dan meramaikan Mushola Kandangan. Mushola di Desa Kandangan ada lima. Kami diberi hanya 4 mushola.yakni mengisi Imam sholat tarowih, kultum. Kami siap !! sangat siap!!

Zakiyah, sungguh jelita. Pesonanya adalah akumulasi dari sipu malunya jika kugoda. Cahaya matanya jika terkejut. Kata-kata yang manja jika kuajak bicara, dan jilbabnya yang menambah daya pikat. Kenyataannya bahwa ia menyukai novel-no0vel cerdas kesukaanku. Zakiyah, simply irresistible. Apalagi design-nya secara eksplisit bilang”I am a single Marzuki”. Buka lowongan. Zakiyah, Zakiyah, Zaakiiaaaayah!!!!!

Energi Barokah Masjid Al-Karomah


By : Marzuki Bersemangat
Sore menjelang berbuka puasa di Masjid Al-Karomah Nglundo Jombang warga sekitar berkumpul di Masjid untuk buka bersama. Acara yang dikemas berbuka puasa tersebut dimulai jam 17.15, sambil diisi ceramah agama. Warga sangat antusias mengikuti program Ramadhan itu. Terlihat beberapa orangtua muda, anak-anak duduk rapi DI JERAMBAH masjid. Anak-anak sudah berkumpul di Masjid sejak ba’da sholat ashar mengaji iqro’ untuk pemula. Sedang untuk tahap lanjutan diteruskan juz ‘Amma, yang terdiri dari surat-surat pendek.
Antusias warga juga terlihat pada jama’ah lima waktu. Warga berduyun-duyun pergi ke Masjid saat adzan. Tua, muda, laki-laki, perempuan khusu’ sholat berjama’ah di Masjid. ”Sholat Berjama’ah Lebih Baik Dari Sholat Sendirian Dengan Paha 27 Derajat”. Hadits tersebut ternyata teraplikasi oleh warga sekitar Masjid Al-Karomah Nglundo Jombang. pahala 27 derajat tersebut belum ditambah dengan besarnya fadhilah bagi mereka yang sudah bersuami atau beristri.
Sholat tarawih 20 rokaat itu di jalani dengan semangat yang luar biasa di Masjid Al-Karomah. Mulai awal tarowih 22 agustus 2009 kemarin, Masjid dipenuhi warga sampai penulis menulis (29/8/09). Masyarakat Jombang yang mayoriras warga Nahdliyin melaksanakan tarawih dengan 20 rokaat dengan ditambah witir 3 rokaat. Bilal setiap Masjid atau Mushola berbeda biasa ditemui. Memang bilal tidak ada dalil yang mengsyariatkan, namun tidak ada salahnya karena isi dari bilal adalah sholawat. Perdebatan tentang tarowih yang 20 rokaat dan 8 rokaat, warga Nahdliyin menyikapinya dengan tenang. Kalau hanya 8 rokaat mengapa harus dilakukan di dalam bulan romadhan? Pensyariatan tarowih itu terjadi dalam masa Kholifah Sayidina umar (Fathul Wahab) Masa Nabi belum di kenal istilah tarowih. Nabi Muhammad SAW setiap malam baik diluar ramadhan ataupun didalam bulan Ramadhan melakukan sholat sunah 8 rokaat, dan itu dijadikan dalil bagi manusia-manusia yang mengatakan tarowih itu 8 rokaat.
Jama’ah sholat tarowih di Masjid Al-Karomah ini terlihat khusu’ mendengarkan siraman rohani setiap hari antara tarowih dan sholat witir. Penceramah biasanya Imam sholat tarowih yang dilakukan bergilir para tokoh warga Masjid. Tema yang diangkat penceramah tidak jauh dari materi bab keutamaan bulan romadhan. Ba’da sholat tarowih aktivitas Masjid Al-Karomah adalah tadarus Al-Qur’an sampai tengah malam. Banyak makanan ringan yang dikirim oleh warga untuk para tadarus. Faktor makanan menjadi penyemangat tersendiri bagi pemuda. Sistem “balas dendam”: siang hari tidak makan dan minum begitu adhan Maghrib terdengar saat itulah start untuk makan dan minum sampai imsak. Kapan kita sampai pada tingkat puasa khowas, apalagi khowasil khowas. Kita ini masih pada tingkat bawahnya puasanya orang awam sebagaimana Nabi menyebutkan banyak orang berpuasa namun tidak mendapat apapun kecuali lapar dan dahaga. Puasa orang awam, Yakni hanya mencegah perut dan farji dari syahwat. Puasa khowas atau puasanya orang khusus adalah puasanya orang-orang sholih. Yakni mencegah anggota badan dari perbuatan dosa, maka tidak sempurna puasa orang-orang sholeh kecuali, selalu dalam 5 perkara: pertama mencegah mata dari melihat sesuatu yang dibenci syariat kedua menjaga lisan dari menggosip, bohong, provokasi, sumpah palsu. Karena Anas meriwayatkan sebuah hadits bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: ada lima perkara yang dapat melebur puasa, Yakni bohong, gossip, provokasi, sumpah palsu, memandang dengan syahwat.Ketiga mencegah telinga dari mendengar setiap perkara yang dibenci syara’. Keempat mencegah semua anggota badan dari perkara yang dibenci syariat dan mencegah perut dari makanan syubhat (perkara antara halal dan haram). Kelima hendaknya tidak memperbanyak makan dari makanan halal ketika berbuka. Sesuai hadits Nabi SAW bersabda tidak ada tempat yang lebih dibenci Allah daripada perut yang penuh dengan makakan halal.Adapun puasanya khowasil khowas adalah puasanya para Nabi dan orang Shodiqin. Yakni mencegah hati dari hal yang dapat melupakan Allah (Dhurrotu An-nasihin Fi Alwa’di wa Al-Irsyad)

Air Mataku


Aku bukanlah superman.
Aku juga bisa nangis.
Jika kekasih hatiku pergi meninggalkan aku.

Petikkan lirik lagu BUKAN SUPERMAN karya Ahmad Dhani diatas merupakan realitas kehidupan manusia ini. Siang itu 09.40/23/7/2009 udara dingin mulai melakukan proses perubahan panas.Angin yang sungguh mulai menampakkan tidak bersahabat membuatku ingin sekali membeli wedang kopi. Akupun meluncur dengan motorku menuju Bank Jatim yang hanya  400 M dari sekolahku untuk mengambil uang.
“Heh !!! ada apaini??
Tanyaku pada teman-temanku yang sedang bergerombol didepan pintu masuk menuju Masjid Induk Bahrul ‘Ulum.namun sebelum mereka menjawab. aku dengan cepat membaca tulisan di papan tulis yang dipasang disitu.

TELAH PULANG KE ROHMAT ALLAH IBU NYAI Hj. MUSYAROFAH BISRI.

Aku tertunduk seketika. Tetesan air mata itu membasahi sekali pipiku. Beliau adalah istri KH. Abdul Fatah Hasyim salah satu tiang pendiri Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum,Juga pendiri Madrasah Muallimin Muallimat Tambakberas Jombang. Kepulangan beliau belum keringnya air mataku atas meninggalnya putra beliau KH. Taufiqurrohman Fattah 19/7/2009 sepuluh hari sebelum meninggalnya beliau.
Pemakaman beliau jam 13.00. akupun kembali ke sekol;ah dan disanalah aku dan teman-teman membaca tahlil.hari itu sekolah pulang lebih awal.

Belum sampai jatuhnya air mataku di tanah, hatiku harus remuk.putra KH. Abdunnasir Abdul Fattah dipanggil Allah 19/8/09, Gus Najih. Semoga Allah memberi kekuatan kepada K. Nasir atas musibah yang bertubi-tubi. Hj. Musyarofah merupakan ibu beliau. K Taufiq adalah adik beliau. Sedang Gus Najih adalah Putra beliau.

KH. Abdunnasir Abdul Fattah lebih akrab dipanggil Gus Nasir.beliau pengasuh Pondok Pesantren Bahrul ‘UlumTambakberas Jombang, Pengasuh http://www.pesantrenvirtual.com, serta mengasuh beberapa pengajian rutin di Jombang.

Surau-Surau Desaku


Tekuni satu ilmu sampai pada akarnya. Perdalami seluk beluk. Bahkan koridor yang terkecilpun. Dan sungguh Allah suka terhadap orang yang tidak putus asa.

Jangan pindah pada bab lain sebelum memahami satu ilmu. Niscaya akan lebih matang terhadap ilmu. Bukankah zaman sekarang profesionalisme lebih di tuntut. Fokus adalah hal yang dibutuhkan. Serius berarti mempelajari dengan responsibel.

Otak manusia yang terbatas membutuhkan; ketekunan, disiplin, istiqomah. Sekolah yang menekankan siswa terhadap ilmu tertentu lebih menjadikan siswa mudah mengusai ilmu, daripada siswa yang diceko’i beberapa fan ilmu.

Ketika sejak kelas satu SD sampai kelas lima. sulit aku belajar Al-qur’an, yang padahal sudah aku bisa menguasai iqro’. Pindah dari ustadz satu ke ustadz yang lain. Kusadari kurangntya konsentrasi; belajar pada guru, pengulangan pelajaran setelah sampai dirumah.

Akhir kelas V SD, kuputuskan temanku, Saji. Ia kujadikan Guru. Kupanggil Ustadz Saji. Beliau adalah alumnus UNMER Madiun, yang akhirnya menjadi Dosen disana. Sekolahnya dari kecil sekuler, namun ia adalah pribadi yang religi. Maka aku bangga karena Guru privatku membaca Al—qur’an adalah Dosen.

Setiap sore di Mushola Al-ikhlas, saya berusaha untuk aktif sholat jama’ah eko, temanku yang selalu bersama dimanapun dan terutama ngaji privat dengan ustadz Saji. Ngaji itu kami lakukan setiap ba’da Maghrib. Satu persatu kami membacakan maqro’ kepada Sang Ustadz, seperti sorogan dipesantren. Sampai menunggu isya’. Perhatian Guru, kenyamanan belajar, pengulangan pelajaran, istiqomah, kesabaran guru, dan tentunya dukungan serta anugrah Allah kami dapat menguasai iqro’ sehingga dengan mudah aku dan eko untuk naik sorogan Al-qur’an.

Selesai SD aku mondok di Tambakberas Jombang. kusudah enak dipesantren, karena Al-qur’an hanya tinggal melancarkan. Masuk MQ, Madrasah Al-qur’an, sistem pembelajarannya lebih menekankan pada Makhorijul huruf, bukan sorogan. MQ yang hanya dua tahun itu mempelajari 5 macam; tajwid, qiro’atul Qur’an, ghoroibul qur’an, hafalan surat-surat pendek, ”Attibyan” sopan santun membaca Al-qur’an.

Model sorogan seperti yang kulakukan saat privat pada Ustadz Saji, merupakan model belajar yang bagus. Siswa aktif dan guru hanya mendengarkan presentasi siswa dan menjawab pertanyaan siswa. Pembelajaran salaf namun dilisensi orang barat: inilah pembelajaran modern. Pesantren kuno atau salafi yang banyak ditemui di Kediri, ambil kewagean, Kyai tidak akan pindah kitab lain sebelum satu kitab itu khatam dan itu dibaca setiap habis sholat Maktubah.

Aktivitas ngaji privat itu, sudah 12 tahun lalu. Bagiku masih lekat dan terus teringat; Ustadzku, Eko temanku. Ustadz yang menancapkan erat pondasi untuk bisa membaca Al-qur’an, yang tetap kan terus dipakai sampai nanti. Kesabarannya mengajarkan “BA YA RO, TO RO KO, BU YA RO. Bukankah ini amal jariyah yang sesungguhnya? Eko, teman yang selalu bersama saat ngaji. Bukankah inilah ma’na sahabat yang sesungguhnya.

Guru kami yang di Aliyah, bisa lebih pandai dari guru ngajiku dulu di desa. Namun tanpa adanya guruku yang di desa dulu, mana mungkin aku dapat memahami pelajaran di Aliyah. Sungguh besar pahala bagi ustadz-ustadz (jama’: Asatidz) yang mengajarkan iqro’, Al-qur’an pada anak kecil-kecil. Keberadaan mereka termajinalkan dari mata orang-orang pengejar dunia. Keberadaan mereka mulia bagi Allah dan orang yang bertaqwa. Walaupun sekarang keberadaan mereka diperhatikan oleh pemerintah, itu tidaklah sepadan dengan pengabdian mereka.

Mushola Al-ikhlas di Kaligarung itu sekarang sudah berdiri megah. Berusaha menghilangkan sejarahku dulu. Ku ingat Mushola Al-ikhlas sangat sederhana sekali. Lantainya pun masih berupa ris, semen yang diaduk dengan pasir ditambah air, kemudian dihamparkan ke tanah, jadilah ris. Dinding kayu yang aku dapat mengintip dari luar, karena banyaknya celah, lubang. Pintu yang kalau ditutup sulit karena lantai dibawah pintu itu tinggi rendahnya tidak sama. Kalau dipaksa menutup bisa menimbulkan nada dering yang indah: “Graddhhakk!! Kreieeeek..Blaaak!!. lampu itupun kadang seperti lampu di diskotik, mati-nyala-mati-nyala-mati-mati-mati-mati, ganti saja dengan lampu pra kemerdekaan Republik Indonesia, Lampu Teplok. Tempat whudhu yang asyik, berupa genthong yang salah satu pojoknya dilubangi kecil sebesar bolpoin it name is Padasan . Atau kami biasanya memakai sumur yang manual biasa disebut oklek, yakni meng’oklek. Gantian satu dengan lainnya, ini yang menjadikan kehidupan kami gotong royong. Kamar mandinya pun sangat sederhana; berdinding ukiran tembus yang terbuat dari bambu atau ma’lum disebut gedhek, saluran air dari bak ke sumur hanya bambu, baknya terbuat dari seng yang sudah berlumut.

Sekarang keadaan Mushola itu, megah. Layaknya Mushola yang lain. Berkompetisi membangun “house” bukan “home” nya. Dalam bahasa inggris, rumah dibedakan menjadi 2, yaitu; house dan home. House lebih pada bangunannya, sedangkan home adalah rumah tangga, maka ada istilah ‘broken home’ artinya pecahnya rumah tangga. Kebudayaan pemuda lebih senang tidur di pos-pos pinggir jalan. Karena sudah tidak kuat lagi untuk pulang kerumah dalam keadaan mabuk.

Apakah Mushola sekarang yang megah lebih sakral daripada Mushola dulu yang reyot? Sehingga mereka enggan untuk mampir, dan lebih memilih warung kopi yang mereka harus mengeluarkan kocek. Al-qur’an yang tertata rapi seakan hanya sebagai ornamen Mushola, yang menyentuhnya dan bahkan mengamalkannya. Sedangkan Allah menurunkan Al-qur’an adalah sebagi petunnjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Al-qur’an bahkan tidak hanya untuk dibaca. RA Kartini dulu pernah mengkritik guru ngajinya, karena hanya diajari membaca Al-qur’an tanpa diajarkan artinya. Bagaimana orang islam bisa mengamalkan isinya kalau tidak tahu arti.

Aku dan Eko, sering menjelajah dari Ustadz Mushola satu ke Ustadz Mushola yang lain. Menjelajah dari dusun satu ke Dusun sebelah. Itupun kami lakukan setelah menguasai dasar-dasar membaca Al-qur’an. Kami hanya ingin merasakan belajar pada Ustadz yang lain. Merasakan luasnya pengetahuan, penjelajahan relegius. Aku teringat Gus Wahab berpesan “Dalam Guru syariat carilah Guru sebanyak-banyaknya dan carilah Guru hakikat satu saja”. Syariat hanyalah keilmuan yang bersifat pengetahuan, namun guru Hakikat adalah Guru yang bertanggungjawab pada kita, di dukia dan akhirot.

Penjelajahan relegiusku dan Eko, kami lakukan dengan senang hati. Sepeda ongkel federallah yang selalu kemanapun aku tumpangi setiap ngaji, begitu juga eko. Sholat Maghrib kami tetap berada di Mushola Al-Ikhlas, baru setelah itu kami bereksplorasi; menjelajah surau yang belum kami kenal. Mengeruk informasi dimana ada TPA ba’da Maghrib disitu akan kami singgahi. Berbekal semangat dan Al-qur’an yang kami pinjam dari Mushola Al-Ikhlas. Bahwa penjelajahan kami itu membuncah setelah kami menguasai dasar-dasar membaca Al-qur’an yang kami dapatkan dari Ustadz Saji. Beliaulah yang menanamkan pada kami dasar-dasar Al-qur’an melalui iqro’. Maka setelah iqro’ kami mencari guru lain. Aku dan eko tidak belajar pada Ustadz saji sorogan Al-qur’an kecuali hanya sebentar.

Hampir setiap RT didesaku ada suraunya. Sepuluh surau, itu hitunganku tahun 1997. sekarang bertambah terus, menjamur sejalan membludaknya manusia dan SDM yang meningkat. Bukti kongkret perkembangan Islam di desaku meningkat secara kuantitas dalam teori MLM, Multi Level Marketing, bahwa untuk mencapai kualitas, pertama kuantitas. Sehingga terdengar sahut-sahutan adhan surau satu dengan lainnya ketika waktu sholat maktubah tiba.

Dalam penjelajahan akhirnya kami menemukan seorang Guru yang sangat perlu kami teladani, Ustadz Santoso. Beliau alumnus salah satu Pondok Pesantren Salaf di Kediri. Dan ternyata beliau Maha Guru kami, karena Ustadz Saji adalah muridnya. Beliau sudah lama menjadi guru ngaji. Muridnya sudah banyak di desaku baik laki-laki, perempuan. Karakter beliau yang sabar, tegas, suaranya yang menggelegar, dan kumisnya ngelawir menambah kewibawaannya tampak. Beliau mengajar di surau kecil, dipenuhi suara-suara santri beliau. Surau yang hanya berdiameter ±7x5m2. Tempatnyapun sedikit tersembunyi, yang padahal berada di pinggir jalan itu karena hampir tertutup sumur didepan surau kecilnya itu. namun siapa menyangka surau itu menelurkan santri-santri didesa kami.
Penjelajahan kami tidak terasa sangat membuahkan hasil. Aku dan eko sudah lumayan lancar untuk membaca Al-qur’an pada kelas enam SD pada catur wulan ketiga dua. Yang waktu itu hanya 3 orang yang terkenal untuk membaca Al-qur’an; Ali, Ana, Bambang. Maka ketika Guru Agamaku menyuruh membaca suroh Al-baqoroh awal akupun membacanya dengan lancar. Pun karena ayat 1-6 Suroh Al-Baqoroh aku sudah hafal. Aku dan ekopun sudah berani untuk tampil ketika acara khotmil Al-qur’an di desaku.

Penjelajahan untuk tetap berkelana terhadap ilmu Allah terus membuncah. Maka ketika lulus SD dengan DANEM 42 yang seyogyanya itu DANEM bergengsi waktu itu untuk masuk SMP 1 Ngawi, aku tetap ngotot pada orangtua ku untuk berkelana ke Jombang. sebuah kota yang penuh dengan harimau berkeliaran. Aku ingin berupa-rupa hawa harimau. Aku mau sekali-kali bisa menjadi pelayan harimau. Aku berkeinginan merasakan ganasnya hutan yang penuh dengan harimau.


BUMI DAMAI GROWLRIVER
CAMPURASRI NGAWI